Yunanto : KUHP Warisan Kolonial Belanda

Jurnalismalang – Siapa yang mampu membantah ihwal Belanda menjajah Indonesia tiga setengah abad? Siapa mampu menyanggah bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah kita tegakkan seabad lebih adalah “warisan” kolonialis Belanda? Itu semua fakta. Kokoh tak tersanggah.

Kolonialis Belanda kala itu dengan KUHP-nya, saya rasa, pas dianalogikan sebagai musang berbulu ayam. Bahkan, musang berbulu merak! Musangnya telah kita usir, 74 tahun silam. Peliknya, bulu ayamnya masih kita tegakkan bagai bulu merak, hingga kini. Tanpa aroma dan citarasa negeri merdeka. Tanpa berhati Indonesia Raya.

Seperti apa konkretnya KUHP berhati Indonesia Raya? Jujur saja, saya kesulitan mendalilkan.

Kini, kadang masih melintas pertanyaan di benak saya. Bila KUHP saya ibaratkan rumah, maka KUHAP (Hukum Acara Pidana) adalah pondasinya. Hal yang “aneh”, bagaimana “pondasi” itu bisa dibuat (31 Desember 1981), sedangkan “rumah” yang berdiri di atasnya masih “rumah lama” warisan kolonialis Belanda? Bagaimana bisa membikin “pondasi” baru tanpa mengubah “rumahnya”?

Jauh sebelum Hukum Acara Pidana “produk” rezim Orde Baru itu lahir (1981), niat merevisi KUHP sudah lama muncul, sejak 1963. Namun, niat tersebut berulang kali tertunda. Sekarang pun tertunda lagi. Secara resmi, penundaan tersebut telah disampaikan Presiden Jokowi, di Istana Bogor, Jumat, 20 September 2019.

Menjelang akhir pekan lalu itu, Presiden memerintahkan Menkumham Yasona Laoli untuk menyampaikan sikap pemerintah kepada DPR RI. Intinya, menunda pengesahan RUU KUHP menjadi undang-undang. Presiden berpandangan, biarlah pengesahan RUU tersebut ditangani DPR RI periode 2019-2024, nanti.

Kekhawatiran adalah hal wajar. Begitu pula khawatir ihwal pasal-pasal “hatzai artikelen”, pasal tentang penghinaan. Dinilai malah “dikuatkan” dalam RUU KUHP. Penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, contohnya. Wajar insan pers khawatir. Kelak, tatkala pers mengritik presiden dan atau wakil presiden, dijaring dengan “pasal karet” penghinaan tersebut. Padahal kritik beda dengan penghinaan. Itu hanya satu dari belasan pasal yang dikhawatirkan dalam RUU KUHP.

“Salus populi suprema lex”, keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi. Bila kelak RUU KUHP tersebut tidak bermuatan “keselamatan dan kesejahteraan sebagai hukum tertinggi” maka berpotensi lahir KUHP yang tidak berhati Indonesia Raya. (Yun/DnD)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Top