Jurnalismalang.com – Mantan Komisioner Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) RI, Dr. Sukarmi., SH., M.Hum, mengusulkan Leniency Program, yakni suatu tindakan pelaku usaha yang melaporkan secara sukarela dan mandiri kegiatan kartel atau pengadaan barang dan jasa yang tidak masuk akal, karena adanya persekongkolan, dapat dibebaskan dari sanksi atau menerima pengurangan sanksi.
Menurut perempuan yang menjadi Profesor aktif ke-7 di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH-UB) Malang tersebut, Leniency Program belum pernah diterapkan di KPPU, karena praktek yang dilakukan oleh KPPU RI selama ini adalah dengan pola perubahan perilaku, dimana bagi siapa yang mengakui adanya kesalahan, maka tidak dilanjutkan didalam proses lebih lanjut untuk pemeriksaan.
“Model perubahan perilaku tentunya berbeda dengan Leniency Program, kalau Leniency Program tadi benar-benar pelaku itu yang mengakui pertama, kemudian itu dijadikan incenti bagi dia untuk dikurangi dendanya bahkan dibebaskan. Bagi KPPU, tentunya urgensi adanya Leniency ini sebagai satu instrument awal KPPU untuk mengungkap lebih lanjut tentang kartel tersebut,” terangnya.
Kartel yang merupakan pelanggaran persaingan usaha, dimana terdapat celah yang dapat dimanfaatkan untuk mengurangi tindakan kartel dalam menjalankan usahanya yang merugikan orang lain.
Dr. Sukarmi mengutarakan bahwa kartel adalah salah satu jenis pelanggaran yang amat serius didalam hukum persaingan usaha. Bahkan di negara lain, kartel masuk kategori kejahatan, namun di Indonesia masih masuk dalam kategori pelanggaran dengan sanksi administrasi.
“Untuk mengungkapkan praktik Kartel itu selalu sulit, oleh karena itu perlu cara khusus untuk mengurangi praktik kartel tersebut, jadi konsep Leniency Program dinilai cukup memberikan penawaran yang menarik bagi para pelaku praktik kartel, yang ingin berhenti atau menjadi whistle blower,” ujarnya.
Ditanya terkait efektifitas Leniency Program didalam Undang-Undang Cipta Kerja yang baru, Dr. Sukarmi menjelaskan bahwa salah satu cara untuk mengukur keberhasilan program tersebut, adalah pemberian sanksi yang sangat tinggi terhadap pelaku kejahatan (Kartel).
“Undang-undang Cipta Kerja telah membuka ruang tersebut, yang mana perubahan sanksinya dihitung dari presentase besaran aset dan omset,” jelasnya.
Dr. Sukarmi menambahkan, selama ini KPPU tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk membongkar praktik Kartel, hingga aspek penyitaan dan lainnya, sehingga kedepannya KPPU diharapkan dapat memiliki tambahan kewenangan, agar lebih optimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Mudah-mudahan kedepannya bisa seperti KPK, yang kini dipandang sebagaj lembaga super power,” tukasnya. (DnD)