Jurnalismalang.com – Universitas Brawijaya (UB) Malang kembali menambah daftar Guru Besarnya, dimana kali ini UB Malang akan mengukuhkan enam Guru Besar sekaligus, dan prosesi pengukuhan akan dilaksanakan pada Sabtu (22/07/2023) dan Minggu (23/07/2023) di Samantha Krida UB.
Ke-enam Guru Besar tersebut yakni Prof. Dr. Ir. Bambang Dwi Argo DEA dari Fakultas Teknologi Pertanian (FTP), Prof. Dr. Setyo Widagdo SH., M.Hum dan Prof. Dr. Sukarmi SH., M.Hum dan Prof. Dr. Muchamad Ali Safa’at SH., MH. dari Fakultas Hukum (FH). Lalu Prof. Drs. Nurkholis M.Bus (Acc) Ak., PhD dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis serta Prof. Dr. Ir. Bambang Susilo MSc., Agr dari Fakultas Teknologi Pertanian.
(Prof Bambang Dwi Argo saat menjelaskan proses pindah panas)
Prof Bambang Dwi Argo menyatakan keahliannya di bidang energi. Dimana awalnya, Ia meneliti kaitannya proses pindah panas pada suatu benda. Namun setelah di Indonesia, sarana yang belum mencukupi, membuatnya memindahkan kompetensi ke Biomassa.
“Kebutuhan energi di Indonesia mencapai 9,9 juta ton. Sebanyak 80 persen tergantung pada sumber bahan fosil. Cadangan energi minyak terus tergerus, Maka diperlukan solusi, yang intinya bagaimana mengkonfersi biomassa menjadi energi terbarukan dalam penelitian ini,” terangnya.
Dijelaskannya bahwa lingkup penelitian itu, bisa mengembangkan teknologi prosesnya atau mungkin teknologi peralatannya, untuk mengkonversi dari biomassa yang disebut trigliserida, yakni minyak tumbuhan atau minyak hewani, yang digunakan sebagai bahan dasar untuk memproduksi biodiesel tanpa menggunakan katalis. Dimana minyak tumbuhan atau hewan, bisa diperoleh dari ekstrak biji jarak, mikro alga dan lainnya.
(Prof Bambang Susilo meneliti dengan proses ultrasonic untuk memproduksi biodiesel)
Sedangkan Prof. Bambang Susilo juga meneliti tentang teknologi ultrasonik yang digunakan untum pengolahan minyak tanaman menjadi biodiesel.
Menurutnya, biodiesel bisa memanfaatkan tanaman seperti nyamplungan, minyak kelapa sawit hingga biji kapuk randu, seperti zaman dahulu, dimana mobil menggunakan bahan bakar minyak bunga matahari dan minyak kacang tanah.
“Seperti pada tahun 1976, minyak tanaman mau digunakan lagi, karena minyak bumi mulai berkurang, hanya saja minyak tanaman ini kelemahannya merusak mesin,” terangnya.
Lebih lanjut Prof. Bambang menyampaikan, pihaknya mengembangkan aplikasi teknologi ultrasonik untuk memperbaiki proses biodiesel, dimana teknologi tersebut menggunakan frekuensi diatas frekuensi yang ditangkap indera pendengaran manusia.
“Kedepan tidak hanya biodiesel, tapi bisa juga untuk vitamin dan ekstraksi yang lain,” tukasnya.
(Prof Setyo mengusulkan adanya metode penyelesaian sengketa Laut China Selatan yang sampai saat ini diperebutkan banyak negara)
Sementara Prof. Setyo Widagdo memaparkan tentang “Pembentukan Perjanjian Internasional Dengan Enhancement Model Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan”.
Menurutnya, proyek 5 triliun US Dollar di Laut Cina Selatan, yang membuat banyak negara maritim tertarik, hingga berakhir sengketa, yang berdampak pada negara disekitarnya, termasuk Indonesia, dimana hak sejarah diakui, namun mengklaim tidak diakui, dan terjadi sampai tahun 1947.
Untuk itu Ia menawarkan satu model penyelesaian baru, yaitu enhancement model dalam pembentukan perjanjian internasional sebagai hard law, untuk menggantikan soft law berupa aturan tingkah laku atau Code of Conduct, dimana sengketa yang terjadi meski sampai dimenangkan satu pihak akan sulit dieksekusi, karena sifatnya soft law.
(Prof Sukarmi menjelaskan Leniency Program untuk memerangi bisnis kartel di Indonesia)
Kemudian Prof. Dr. Sukarmi dalam orasi ilmiahnya, mengangkat tema “Model Pengaturan Leniency Program Untuk Memerangi Kartel Dalam Bayang-Bayang Hukum Persaingan Usaha di Indonesia”.
Menurutnya, Kartel selalu dilakukan tertutup, dimana perjanjian untuk mengatur harga dan produksi penuh dengan kerahasiaan, sementara dalam Undang-Undang harus membawa perjanjian.
“Kartel adalah pelanggaran di dunia usaha dan termasuk kejahatan. Di negara lain juga mengalami kesulitan pembuktian karena yang dilakukan kartel serba tertutup. Padahal dalam UU harus dibuktikan dalam perjanjian. Karena itu sulit diungkap,” katanya.
Sukarmi menyampaikan bahwa KPPU tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penggeledahan, namun hanya dengan bukti tidak langsung melalui percakapan.
“Ini berdasarkan pengalaman saya selama dua periode di KPPU. Leniency Program adalah kebijakan menjelaskan bagi anggota pelaku kartel yang terlebih dahulu melaporkan perjanjian kartel tidak akan dikenakan sanksi atau denda. Jadi perlu keberanian dari whistle blower. Tapi harus ada lembaga pemohon leniency program. Ini seperti LPSK untuk kasus pidana,” tukasnya. (DnD)