Jurnalismalang.com – Kompartemen Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) bekerjasama dengan Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana (PERSADA) Universitas Brawijaya (UB) Malang, menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan topik “Revisi UU Polri Dan Dampaknya Terhadap Hukum Acara Pidana”, yang digelar secara live di Youtube FH UB Official, pada Kamis (25/07/2024).
Koordinator Kompartemen Hukum Pidana yang sekaligus Dosen Hukum Pidana FH-UB Malang, Solehudin mengatakan, FGD tersebut merupakan respon atas keluh kesah soal bagaimana revisi UU Polri yang saat ini sedang berjalan di DPR RI, yang dinilai sangat terburu-buru hingga memunculkan berbagai pertanyaan dan spekulasi.
“Karena kita selaku akademi Fakultas Hukum ini yang perlu kita cermati adalah bagaimana prosedur penegakan hukum ketika berbicara masalah revisi UU Polri, kita harus berbicara mengenai aturan main bagaimana penegakan hukum. Tentunya yang harus ditinjau ulang adalah hukum acara pidananya terlebih dahulu, bukan undang-undang sektoralnya,” kata Solehudin.
Berdasarkan naskah akademik dan RUU yang sudah diteliti, pihaknya menemukan dan menilai ada beberapa kejanggalan, seperti terdapat beberapa asas yang tidak dipedomani, dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan, soal kewenangan polisi dan lainnya.
“Sebagaimana tujuan hukum itu kan keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Tapi mencakup hanya kepastian saja, ini kecenderungannya nanti bahkan bisa saja mengabaikan keadilan dalam konteks penegakannya. Karena selama ini dalam prakteknya, dalam konteks penegakan hukum, banyak pelanggaran HAM disitu, contohnya kasus Pegi Setiawan kemarin,” sambungnya.
(Solehudin Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)
Sementara itu, Soleman Pondo, Anggota Staff Ahli Wantimpres mengatakan, berdasarkan UU Polri Pasal 30 Ayat 4, dikatakan soal tugas Polri yakni “Menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, Menegakkan Hukum, Melindungi dan Mengayomi”, namun pada RUU baru muncul ayat yang mengatakan “Polri Melaksanakan Intelegen Kepolisian Dalam Rangka Mewujudkan Keamanan Nasional”, dimana dari situ terdapat 2 perbedaan yakni memelihara keamanan dan ketertiban, serta mewujudkan keamanan nasional.
“Bedanya, kalau kita berbicara memelihara, artinya memelihara yang sudah baik. Tapi kalau mewujudkan, ini artinya orang-orang jelek semua. Artinya kalau dia mewujudkan, sebelum berbuat tangkapin dulu aja. Jadi bagaimana didalam satu undang-undang, ada dua hal kontradiktif, itulah sebabnya disini intelegen yang tugasnya mewujudkan, begitu ada indikasi langsung ditangkap,” jelasnya.
Soleman pun menilai bahwa UU Polri yang baru lebih parah dari represif, karena mewajarkan sesuatu yang seharusnya dilarang untuk dilakukan, seperti contoh soal Polri berwenang melakukan cegah dini, yang bisa diartikan sebagai “Pembunuhan”.
“Artinya Polri berwenang melakukan pembunuhan itu kan, mau dibawa kemana Negara ini. Jadi setiap yang punya KTP Polri berwenang untuk itu,” pungkasnya.(DnD)