Jurnalismalang.com – Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Tuban mencatat, kawasan hutan Tuban pada periode 2020-2021 mengalami deforestasi atau hilang hingga 126 hektar. Penggundulan atau penebangan 40 ribu pohon terjadi di kawasan RPH Sugihan BKPH Kerek KPH Tuban.
Penggundulan dilakukan demi kepentingan pembangunan kilang minyak Grass Root Refinery (GRR) Tuban. (Jatimtimes.com, 20/11/2021).
Proyek yang memakan lahan hijau itu diperlukan untuk mempercepat kepentingan Proyek Strategis Nasional (PSN) kilang GRR yang diharapkan menjadi kilang terbesar se-Asia Tenggara. Laporan dari Perhutani KPH Tuban, saat ini di Kabupaten Tuban terdapat sedikitnya 1.400 hektare lahan kritis (blokTuban.com, 26/2/2022).
Prof. Dr. Ir. Widowati, MP., Ketua Tim Pelaksana Pelestarian Kawasan Konservasi Pengelolaan Hutan Lindung dan Penguatan Usaha Desa dari Universitas Tribuwana Tungga Dewi (UNITRI) Malang mengatakan, deforestasi tersebut disebabkan adanya konflik kepentingan pemanfaatan lahan sebagai area tangkapan air dan pemenuhan kebutuhan hidup, serta penebangan pohon-pohon yang masih sering dilakukan masyarakat, karena dianggap dapat mengurangi luasan tanam dan menaungi tanaman pangan.
“Sejak tahun 2021, Pemdes Jetak telah menanam tanaman kopi dibawah tegakan pohon seluas 1,8 ha, padahal kawasan hutan dengan tegakan pohon masih seluas 8,7 ha, dimana untuk program pemberdayaan petani hutan untuk konservasi dan restorasi ekosistem yang telah dilakukan pada tahun 2022, cukup efektif untuk memanfaatkan lahan di bawah tegakan hutan, namun kesinambungan program dalam bentuk pelestarian masih terus diperlukan,” terangnya.
Dijelaskannya bahwa konservasi dan restorasi yang dilakukan oleh Pemdes Jetak bersama UNITRI Malang, telah menciptakan kawasan tanaman kopi, jambe, bambu, kapulaga, salak, dan lada hitam sebagai bentuk konservasi pengelolaan hutan.
“Tapi untuk pelestarian kawasan konservasi pengelolaan hutan masih perlu digalakkan, supaya terjadi keseimbangan ekosistem. Tapi disisi lain, tumbuhnya kelompok usaha baru sebagai sumber penghasilan rumah tangga di luar sektor pertanian seperti batik, makanan dari produk pertanian, dan pewarna alami batik, masih mengalami beberapa kendala yang berkaitan dengan produksi daun tanaman, manajemen produksi pewarna batik, legal formal ijin usaha, brand produk dan pemasaran digital,” jelasnya kepada Jurnalismalang.com.
Untuk itu, lebih lanjut Prof. Widowati menyampaikan, perlu penguatan usaha desa sebagai program yang dapat mengatasi kendala tersebut, sehingga diharapkan dengan adanya progam tersebut, bisa mengoptimalkan pemanfaatan lahan dengan budidaya tanaman di bawah tegakan hutan serta penguatan usaha desa.
Ditambahkan oleh Dr. Ana Arifatus Sa’diyah, SP., MP sebagai anggota Tim Pemberdayaan Masyarakat oleh Mahasiswa-Pengabdian kepada Masyarakat Kompetitif Nasional, “Dibawah tegakan pohon masih banyak lahan yang pengelolaannya kurang maksimal, sehingga berpotensi dikelola untuk tanaman Indigofera tinctoria, sebagai bahan baku pewarna alami kain batik, dengan inovasi teknologi pemupukan yang menerapkan biochar,” tukasnya. (DnD)