UB Kukuhkan Prof. Daduk Setyohadi sebagai Guru Besar, Usung Teknologi Sertifikasi Perikanan Lemuru Berkelanjutan

Jurnalismalang, Malang — Universitas Brawijaya (UB) kembali menambah deretan guru besar dengan dikukuhkannya Prof. Dr. Ir. Daduk Setyohadi, MP sebagai Profesor dalam bidang Ilmu Dinamika Populasi Ikan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK). Ia menjadi profesor aktif ke-27 di FPIK, ke-253 di UB, dan ke-431 secara keseluruhan yang dihasilkan oleh kampus tersebut.

Dalam pidato pengukuhannya yang bertajuk “TSPLB-UB: Teknologi Sertifikasi Perikanan Lemuru Berkelanjutan Selat Bali Sebagai Jaminan Komoditas Ekspor dan Ketahanan Pangan”, Prof. Daduk menyoroti kondisi kritis perikanan lemuru di Selat Bali yang menjadi tulang punggung industri sarden nasional.

“Jika tidak segera ditangani, bukan hanya stok ikan yang akan habis, tetapi juga penghidupan nelayan dan industri pengolahan akan terancam,” tegasnya di hadapan civitas akademika dan tamu undangan.

Menurutnya, dalam satu dekade terakhir, tangkapan lemuru menurun tajam akibat praktik penangkapan berlebih, penggunaan alat tangkap yang tidak selektif, dan lemahnya kepatuhan terhadap regulasi. Masalah ini bukan hanya mengancam ekosistem laut, tetapi juga keberlangsungan industri pengalengan dan kesejahteraan nelayan.

Menjawab tantangan itu, Prof. Daduk memperkenalkan sistem inovatif bernama TSPLB-UB (Teknologi Sertifikasi Perikanan Lemuru Berkelanjutan – UB). Sistem ini dirancang sebagai alternatif yang lebih sederhana, murah, dan kontekstual dibanding standar sertifikasi internasional seperti MSC. TSPLB-UB hanya menggunakan enam indikator utama untuk menilai keberlanjutan perikanan, seperti ukuran ikan yang tertangkap, rasio potensi pemijahan, ukuran mata jaring, dan tingkat kepatuhan izin serta pelaporan hasil tangkapan.

Namun, hasil uji coba sistem ini di perikanan lemuru Selat Bali menunjukkan skor kepatuhan hanya 0,78—masih di bawah ambang batas 0,85 yang dibutuhkan untuk status berkelanjutan. Masalah utama terletak pada penggunaan jaring yang terlalu kecil dan masih banyaknya ikan muda yang tertangkap sebelum sempat berkembang biak.

Prof. Daduk menegaskan bahwa TSPLB-UB bukan hanya soal menjaga ikan, tetapi juga menjaga masa depan ekonomi pesisir dan ketahanan pangan nasional. Sistem ini dinilai sangat cocok diterapkan di Indonesia karena tidak bergantung pada data yang rumit atau proses audit mahal dari lembaga internasional.

“Indonesia butuh sistem sertifikasi yang mampu menjawab kebutuhan pasar global, namun tetap berpijak pada realitas lokal. TSPLB-UB adalah jembatan antara keduanya,” ujar Prof. Daduk.

Dengan dukungan dari pemerintah, industri, dan komunitas nelayan, TSPLB-UB diharapkan bisa menjadi kerangka sertifikasi nasional yang mendorong praktik perikanan yang lebih selektif dan berkelanjutan. (DnD)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Top